BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Media
massa adalah Media yang digunakan secara massal untuk menyebarluaskan informasi
kepada khalayak. Informasi itu bisa berupa hiburan, atau pendidikan. Media
massa terdiri media cetak dan media elektronik. Yang termasuk media cetak
adalah koran, majalah, tabloid, newsletter, dan lain-lain. Sedangkan media
elektronik adalah televisi dan film (media audiovisual), juga radio (media
audio).
Fungsi
Media massa setidaknya ada empat, yaitu menginformasikan (to inform), mendidik
(to educate), membentuk opini atau pendapat (to persuade), dan menghibur (to
entertain). Media literacy muncul didorong kenyataan bahwa fungsi media massa
lebih dominan dalam hal menghibur, dan mengabaikan fungsi mendidik.
Namun
fakta bicara, tidak semua isi media massa bermanfaat bagi khalayak. Banyak di
antaranya yang tidak mendidik dan hanya mengedepankan kepentingan
pemilik/pengelola media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Media
literacy bermaksud membekali khalayak dengan kemampuan untuk memilah dan
menilai isi media massa secara kritis, sehingga khalayak diharapkan hanya
memanfaatkan isi media sesuai dengan kepentingannya.
B. Rumusan
Masalah
Ø
Filosofi
Media Literacy ?
Ø
Apa
Pengertian Media Literacy ?
Ø
Perkembangan
Media Literacy ?
C. Tujuan
Ø
Menjelaskan
Filosofi Media Literacy
Ø
Menjelaskan
Pengertian Media Literacy
Ø
Menjelaskan
Perkembangan Media Literacy
BAB
II
LANDASAN
TEORI
Media Literacy atau
melek media adalah suatu istilah yang digunakan sebagai jawaban atas maraknya
pandangan masyarakat tentang pengaruh dan dampak yang timbul akibat isi
(content) media massa; dimana cenderung negatif dan tidak diharapkan. Sehingga
perlu diberikan suatu kemampuan, pengetahuan, kesadaran dan keterampilan secara
khusus kepada khalayak sebagai pembaca media cetak, penonton televisi atau
pendengar radio.
Katherine
Miller[1]
mengungkap
bahwa media massa merupakan kepuasan bagi khalayaknya, sesuai dengan kategori
yang kebutuhannya masing-masing. Ada 4 (empat) kategori gratifikasi khalayak,
yaitu informasi, identitas pribadi, integrasi dan interaksi sosial serta
hiburan.
Pendapat di atas secara normatif, menjelaskan bahwa media
terutama televisi dan radio harus berfungsi sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol & perekat sosial, fungsi ekonomi
dan kebudayaan (pasal 4 UU 32/2002) dengan tujuan mencerdaskan bangsa,
membentuk watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa serta diarahkan
untuk meningkatkan kualitas SDM.
BAB
III
PEMBAHASAN
Pada
pembahasan kali ini, kita akan membahas tentang Media Literacy
A.
Filosofi Media Literacy
Istilah
Media Literacy mungkin belum begitu akrab di telinga kita. Masyarakat mungkin
masih terheran dan kurang paham jika ditanya apa sebenarnya Media Literacy
tersebut. Para ahli pun memiliki konsep yang beragam tentang pengertian Media
Literacy , Mc Cannon mengartikan Media Literacy sebagai kemampuan secara
efektif dan secara efesien memahami dan menggunakan komunikasi massa[2]. Ahli lain James W Potter
(2005) mendefinisikan Media Literacy sebagai satu perangkat perspektif dimana
kita secara aktif memberdayakan diri kita sendiri dalam menafsirkan pesan-pesan
yang kita terima dan bagaimana cara mengantisipasinya. Baiklah, sebelum kita
mempelajari lebih jauh mengenai seluk beluk dari Media Literacy ada baiknya
kita pahami dahulu filosofi dari Media Literacy itu sendiri.
Filosofi
mengenai Media Literacy datang dari John
M. Culkin (1928-1993). Ia adalah salah seorang pendidik yang
menggagas penerapan pengajaran media dalam kurikulum
sekolah. Ia juga salah satu yang gigih memperjuangkan gagasan bahwa
Amerika harus menjadi masyarakat yang melek media. Ia pula yang sangat percaya,
bahwa upaya itu harus dimulai dari sekolah. Pada tahun 1964, ia pernah menulis:
“The attainment of (media) literacy involves more that mere
warnings about the effects of the mass media and more even than constant
exposure to the better offerings of these media. This is an issue demanding
more than good will alone; it requires understanding. And training in
understanding is the task of the school!”
Aksi untuk mewujudkan gagasan mengenai melek media tidak
bisa sekedar berupa peringatan untuk mewaspadai dampak media massa, atau bahkan
upaya menunjukkan bagaimana kita bisa memanfaatkan media. Persoalan melek
media, membutuhkan pemahaman, dan sekolah yang memiliki peran membangun
pemahaman itu.
Pada dasarnya, Culkin sangat ingin mengubah cara berpikir
para guru. Ia percaya, jika para guru memahami fungsi media dalam kebudayaan,
mereka dapat menggunakan pemahaman itu untuk membantu generasi muda menjadi
pembelajar yang lebih baik. Pada tahun 1960, ada banyak sekali informasi yang
bertebaran di luar kelas, di ruang publik. Semua itu sejak media massa
elektronik berkembang pesat. Tidak sedikit informasi yang salah dalam
media-media itu, maka memilah informasi menjadi kemampuan yang sangat penting.
Sangat penting bagi para guru untuk memberi petunjuk yang jelas, bagaimana
informasi di ranah pendidikan, bisa sangat berbeda dengan informasi yang
berkembang di luar sana. Generasi muda yang lebih banyak terekspose media-media
baru ini, perlu diberi kemampuan untuk menghadapi terpaan informasi tersebut
secara kritis dan reflektif, bukannya justru larut dalam arus mainstream media.
John Culkin sering menggunakan kalimat dari Edmund
Carpenter, seorang antropolog, yang banyak mempengaruhi cara pikir
dan filosofi Culkin tentang media. Carpenter menekankan, bahwa
media-media baru tersebut sebenarnya adalah bahasa komunikasi.
Dalam sebuah pidatonya, Culkin pernah mengatakan pentingnya
mengembangkan kepekaan indera. Kualitas kepekaan kita sangat mempengaruhi pengetahuan
kita, sementara sekolah semakin lama kurang memperhatikan kepekaan ini.
Rendahnya kepekaan kita, membuat kita menjadi pembelajar yang lamban, tidak
responsif. Kita bisa belajar dari alam, bagaimana alam memiliki kepekaan untuk
selalu beradaptasi dengan situasi. Demikian Culkin.
Studi tentang media, dengan terlibat secara langsung,
dituntun oleh kreativitas dan pemikiran kritis, dapat meningkatkan motivasi dan
kepekaan untuk senantiasa bereksperimen di sekolah. Kebiasaan seperti ini
sangat penting, karena menemukan sendiri adalah proses pembelajaran yang
diutamakan,
B.
Pengertian Media Literacy
Apakah
Media Literacy Itu?
“Media Literacy is a set of perspectives that
we actively use to expose ourselves to the media to interpret the meaning of
the messages we encounter. We build our perspectives from knowledge structures.
To build our knowledge structures, we need tools and raw material. These tools
are our skills. The raw material is information from the media and from the
real world. Active use means that we are aware of the messages and are consciously
interacting with them. “[3].
“Melek media adalah satu set perspektif yang
aktif kita gunakan untuk membuka diri kepada media untuk menafsirkan makna
pesan yang kita hadapi. Kita membangun perspektif kita dari struktur
pengetahuan. Untuk membangun struktur pengetahuan kita, kita perlu alat dan
bahan baku. Alat-alat adalah keterampilan kita. bahan baku adalah informasi
dari media dan dari dunia nyata. aktif menggunakan berarti bahwa kita sadar
akan pesan dan berinteraksi dengan mereka secara sadar.”
Istilah literasi media diciptakan di mid-2004 untuk menggabungkan literasi
lainnya dengan visual[4].
Ofcom mengatakan literasi adalah keterampilan untuk mengakses, menganalisa,
mengevaluasi dan sekaligus mengkomunikasikannya dalam berbagai macam format.
Lebih daripada itu adalah mampu mengenali dan mengerti informasi secara
komprehensif untuk mewujudkan cara berpikir kritis, seperti tanya jawab,
menganalisa dan mengevaluasi informasi itu.
General Director UNESCO, Koiichiro Matsuura juga menjelaskan bahwa literasi lebih dari
sekadar membaca dan menulis. Melainkan juga mencakup bagaimana kita
berkomunikasi dalam masyarakat. Karena literasi berarti juga praktik dan
hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa dan budaya.
Media Literacy di Indonesia lebih dikenal
dengan istilah Melek Media. James Potter
dalam bukunya yang berjudul “Media Literacy” [5].
mengatakan bahwa media Literacy adalah sebuah perspekif yang digunakan secara
aktif ketika, individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang
disampaikan oleh media. Jane Tallim
menyatakan bahwa media literacy adalah kemampuan untuk menganalisis pesan media
yang menerpanya, baik yang bersifat informatif maupun yang menghibur.
Allan Rubin menawarkan tiga definisi mengenai media literacy.
Allan Rubin menawarkan tiga definisi mengenai media literacy.
a. National
Leadership Conference on Media Literacy[6]
yaitu kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan
mengkomunikasikan pesan.
b. ahli
media, Paul Messaris, yaitu pengetahuan tentang bagaimana fungsi media dalam
masyarakat.
c. peneliti
komunikasi massa, Justin Lewis dan Shut Jally, yaitu pemahaman akan
batasan-batasan budaya, ekonomi, politik dan teknologi terhadap kreasi,
produksi dan transmisi pesan.
Rubin juga menambahkan bahwa
definisi-definisi tersebut menekankan pada pengetahuan spesifik, kesadaran dan
rasionalitas, yaitu proses kognitif terhadap informasi.
Fokus utamanya adalah evaluasi kritis
terhadap pesan. Media literasi merupakan sebuah pemahaman akan sumber-sumber
dan teknologi komunikasi, kode-kode yang digunakan, pesan-pesan yang dihasilkan
serta seleksi, interpretasi dan dampak dari pesan-pesan tersebut. Terdapat dua
pandangan mengenai media literacy yaitu dari Art Silverblatt dan James Potter[7].
Silverblatt menyatakan bahwa
seseorang dikatakan memiliki keterampilan literasi media apabila dirinya memuat
faktor-faktor sebagai berikut :
1) Sebuah
kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat
2) Sebuah
pemahaman akan proses komunikasi massa
3) Pengembangan
strategi-strategi yang digunakan untuk menganalisis dan membahas pesan-pesan
media
4) Sebuah
kesadaran akan isi media sebagai ‘teks’ yang memberikan wawasan dan pengetahuan
ke dalam budaya kontemporer manusia dan diri manusia sendiri
5) Peningkatan
kesenangan, pemahaman dan apresiasi terhadap isi media.
Di sisi lain, Potter[8]
memberikan pendekatan yang agak berbeda dalam menjelaskan ide-ide mendasar dari
media literacy, yaitu:
1) Sebuah
rangkaian kesatuan, yang bukan merupakan kondisi kategorikal (Media Literacy is
a continuum not a category
2) Media
literacy perlu dikembangkan dengan melihat tingkat kedewasaan seseorang
3) Media
literacy bersifat multidimensi, yaitu domain kognitif yang mengacu pada proses
mental dan proses berpikir, domain emosi yaitu dimensi perasaan, domain estetis
yang mengacu pada kemampuan untuk menikmati, memahami dan mengapresiasi isi
media dari sudut pandang artistik, dan domain moral yang mengacu pada kemampuan
untuk menangkap nilai-nilai yang mendasari sebuah pesan
4) Tujuan
dari media literacy adalah untuk memberi kita kontrol yang lebih untuk
menginterpretasi pesan. Tujuan dari melek media adalah untuk memberdayakan
individu-individu dalam mengontrol media pemrograman. Istilah pemrograman dalam
pengertian ini, tidak bermaksud program televisi atau media pesan. Seorang
individu oleh dirinya sendiri tidak akan punya banyak pengaruh mengubah
bagaimana massa kerajinan media pesan mereka. Seorang individu akan pernah bisa
menjalankan banyak kendali atas apa yang akan ditawarkan kepada publik. Namun,
seseorang bisa belajar untuk mengerahkan banyak kontrol atas cara pikiran
seseorang mendapat diprogram. Dengan demikian, tujuan media keaksaraan adalah
untuk menunjukkan orang-orang bagaimana untuk mengalihkan kontrol dari media
sendiri. Inilah yang saya maksud ketika saya mengatakan bahwa tujuan melek
media untuk membantu orang mengendalikan program media.
1. Media
Literasi juga bertujuan untuk:
·
Membatasi PILIHAN
Media
telah memprogram Anda berpikir bahwa Anda memiliki pilihan ketika pada
kenyataannya tingkat pilihan sangat terbatas.
·
Memperkuat PENGALAMAN
Kita
tetap akan kembali ke jenis pesan yang sama, percaya bahwa Kita akan memiliki
pengalaman yang memuaskan sekali lagi seperti yang ada di masa lalu. Seiring
berjalannya waktu, kebiasaan menjadi kuat, dan itu menjadi jauh lebih sulit
untuk mencoba sesuatu yang baru.
2. The
Cognitive Model of Media Literacy
ü Pribadi lokus
adalah istilah yang merujuk pada yang mengatur pengolahan informasi tugas. Ini
juga bentuk dan makna makna pencocokan konstruksi.
Lokus pribadi terdiri dari tujuan dan pengendali. Tujuan membentuk tugas pemrosesan informasi dengan menentukan apa yang akan disaring dalam dan apa yang akan diabaikan. Semakin Anda menyadari tujuan Anda, semakin Anda dapat langsung proses pencarian informasi. Dan semakin kuat pengendalian informasi Anda, semakin banyak Anda akan memperluas usaha untuk mencapai tujuan Anda. Namun, lokus lemah (Anda tidak menyadari tujuan tertentu dan energi pengendalian Anda rendah), Anda akan gagal untuk kontrol media: yaitu, Anda memperbolehkan media untuk menjelajahi diri anda dan kontrol atas informasi pengolahan.
Lokus pribadi terdiri dari tujuan dan pengendali. Tujuan membentuk tugas pemrosesan informasi dengan menentukan apa yang akan disaring dalam dan apa yang akan diabaikan. Semakin Anda menyadari tujuan Anda, semakin Anda dapat langsung proses pencarian informasi. Dan semakin kuat pengendalian informasi Anda, semakin banyak Anda akan memperluas usaha untuk mencapai tujuan Anda. Namun, lokus lemah (Anda tidak menyadari tujuan tertentu dan energi pengendalian Anda rendah), Anda akan gagal untuk kontrol media: yaitu, Anda memperbolehkan media untuk menjelajahi diri anda dan kontrol atas informasi pengolahan.
ü Setelah lokus
pribadi memberikan dorongan panci dan energi, alat-alat yang diperlukan untuk
melaksanakan rencana. Alat-alat tersebut adalah kompetensi dan keterampilan.
Kompetensi adalah orang-orang yang telah memperoleh alat-alat untuk membantu
mereka berinteraksi dengan media dan untuk mengakses informasi dalam pesan.
Kompetensi yang dipelajari pada awal kehidupan, yang diterapkan secara
otomatis. Kompetensi relatif dikotomis: yaitu, baik orang mampu melakukan
sesuatu atau mereka tidak mampu. Sebagai contoh, baik orang tahu bagaimana
mengenali kata dan maknanya sesuai dengan makna hafal atau mereka tidak.
Memiliki kompetensi tidak membuat satu media yang melek huruf, tetapi tidak
memiliki kompetensi ini mencegah salah satu dari media menjadi melek karena
kekurangan media ini mencegah seseorang mengakses jenis informasi tertentu.
Sebagai contoh, orang-orang yang tidak memiliki kompetensi dasar membaca tidak
dapat mengakses bahan cetakan. Ini akan sangat membatasi apa yang mereka dapat
dibangun ke structutes pengetahuan mereka.
ü Information Processing
o
Menyaring pesan
a. Tugas :
untuk membuat keputusan mengenai pesan mana yang menyaring (mengabaikan) dan
yang untuk menyaring dalam (memperhatikan)
b.
Tujuan : untuk menghadiri hanya pesan-pesan yang
memiliki utilitas tertinggi dan menghindari semua orang lain
c.
Fokus : pesan dalam lingkungan
o
Arti pencocokan
a. Tugas :
untuk menggunakan kompetensi dasar untuk mengenali simbol-simbol dan menemukan
definisi untuk masing-masing.
b. Tujuan :
untuk efisien mengakses makna belajar sebelumnya.
c. Fokus :
simbol dalam pesan
o
Arti konstruksi
a. Tugas : untuk menggunakan keterampilan untuk
bergerak melampaui makna yang serasi dan membangun makna bagi diri sendiri
untuk mendapatkan lebih banyak dari pesan.
b. Tujuan : untuk menafsirkan pesan dari lebih dari
satu perspektif sebagai sarana untuk mengidentifikasi berbagai pilihan makna,
kemudian memilih satu atau sintesis di beberapa.
c. Fokus : satu struktur pengetahuan sendiri
3. The
Seven Skills of Media Literacy
1) Analyze/Menganalisa.
Kompetensi berikutnya adalah kemampuan menganalisa struktur pesan, yang dikemas
dalam media, mendayagunakan konsep-konsep dasar ilmu pengetahuan untuk memahami
konteks dalam pesan pada media tertentu. Misalnya, mampu mendayagunakan
informasi di media massa untuk membandingkan pernyataan-pernyataan pejabat
publik, dengan dasar teori sesuai ranah keilmuannya. Kompetensi lainnya bisa
diperiksa dengan kata kerja seperti, membedakan, mengenali kesalahan,
menginterpretasi, dsb.
2) Evaluate/Menilai.
Setelah mampu menganalisa, maka kompetensi berikutnya yang diperlukan adalah
membuat penilaian (evaluasi). Seseorang yang mampu menilai, artinya ia mampu
menghubungkan informasi yang ada di media massa itu dengan kondisi dirinya, dan
membuat penilaian mengenai keakuratan, dan kualitas relevansi informasi itu
dengan dirinya; apakah informasi itu sangat penting, biasa, atau basi. Tentu
saja kemampuan dalam menilai sebuah informasi itu dikemas dengan baik atau
tidak, juga adalah bagian dari kompetensinya. Di sini, terjadi membandingkan
norma dan nilai sosial terhadap isi yang dihadapi dari media.
3) Grouping/pengelompokan –
menentukan setiap unsur yang sama dalam beberapa cara: menentukan setiap unsur
yang berbeda dalam beberapa cara.
4) Induction/Induksi –
menyimpulkan suatu pola di set kecil elemen, maka pola generalisasi untuk semua
elemen dalam himpunan tersebut .
5) Deduction/deduksi –
menggunakan prinsip-prinsip umum untuk menjelaskan khusus
6) Synthesis/sintesis –
merakit unsur-unsur ke dalam struktur baru
7) Abstracting/ abstrak –
menciptakan singkat, jelas, dan gambaran tepat menangkap esensi dari pesan
dalam sejumlah kecil kata-kata dari pada pesan itu sendiri.
C.
Perkembangan Media Literacy
Media Literacy pertama kali dikembangkan
sebagai alat dalam melindungi orang-orang dari paparan media. Negara yang
pertama kali mendengungkan konsep ini adalah Inggris pada tahun 1930 an. Pada
tahun 1980 di Inggris dan Australia Media Literacy sudah menjadi mata pelajaran
tersendiri. Sementara itu di Eropa pendidikan Media Literacy diperkenalkan pada
kurikulum dasar di negara Finlandia pada tahun 1970 dan pendidikan menengah
atas tahun 1977. Di negara Swedia Media literacy berkembang sejak tahun 1980, dan
di Denmark sejak tahun 1970.
Apa saja yang ingin dicapai lewat pendidikan
Media Literacy ini? Pada umumnya pendidikan Media Literacy khususnya televisi,
yang dilakukan di negara maju menekankan pada peran orang tua agar bersikap
kritis dalam menonton. Artinya kita tidak dibenarkan menerima apa saja yang
ditawarkan, tanpa memahami dan menganalisa dengan baik informasi yang diterima.
Proses memilah informasi mana yang baik dan mana yang buruk adalah hal yang
mutlak harus dilakukan. Contohnya : orang tua harus memilah film mana yang
layak tonton dan mana yang tidak. Kebanyakan film berisikan tayangan sampah,
yang tidak bermanfaat. Setelah dirinya mampu memilah, kebiasaan ini ditularkan
kepada anaknya. Mereka melakukan pemantauan terhadap kebiasaan menonton
anak-anaknya. Orang tua melakukan pendampingan, memilihkan acara yang bermutu,
menjelaskan apa yang mereka tonton dan melakukan penjadwalan, kapan anaknya
boleh menonton dan kapan tidak. Pada tahap selanjutnya orang tua membuat
organisasi yang bersedia melakukan pelatihan kepada kelompok masyarakat yang
membutuhkan, seperti: kelompok orang tua, para murid di sekolah, dan
sebagainya.
Bagaimana dengan Indonesia? Sejauh ini
pendidikan Media Literacy belum terorganisisr dengan baik. Belum diakomodir
lewat kurikulum sekolah atau dalam kegiatan pokok di satu instansi. Baru
sebatas kegiatan seminar, diskusi, ceramah, yang sifatnya belum
berkesinambungan. Kegiatan pendidikan Media Literacy paling banyak dilakukan di
Jakarta. Tokoh seperti Ade Armando, Nina
Armando, B. Guntarto, adalah orang-orang yang penulis ketahui amat peduli
terhadap Media Literacy khususnya media televisi sejak tahun 1997an. Mereka
mendirikan lembaga yang bertindak sebagai pemantau siaran televisi (Watch Dog),
dan melakukan aksi-aksi cukup semarak, seperti: Hari Tanpa TV di setiap tanggal
23 Juli bertepatan dengan Hari Anak Indonesia.
Kendala yang melingkari terciptanya masyakat literat ini tidak lain adalah sebagai berikut[9] :
Kendala yang melingkari terciptanya masyakat literat ini tidak lain adalah sebagai berikut[9] :
1. budaya
minat baca bangsa Indonesia masih tergolong rendah. Terbukti, kebanyakan kita
merasa lebih berani merogoh saku lebih tebal untuk membeli kebutuhan lain
seperti makanan, pakaian, perhiasan, dan bahkan alat-alat rumah tangga,
ketimbang membeli buku. Tingkat ekonomi yang rendah sering menjadi alasan
lemahnya daya beli buku masyarakat. Karenanya, kita menjadi tidak akrab dan
merasa asing dengan buku dan memiliki minat membaca yang rendah.
2. karena
adanya dampak negatif perkembangan teknologi bagi masyarakat. Masyarakat kita
yang awalnya bertradisi lisan atau oral society secara drastis bergerak ke
budaya elektronik seperti TV dan radio, sebelum memasuki budaya tulis secara
ajek. Kita telah langsung melompat dari tradisi mendongeng ke tradisi menonton
sebelum terbiasa dengan tradisi membaca.
3. Ditambah
lagi, tipe pendidikan di Indonesia masih cenderung menganut interaksi satu arah
dalam proses pembelajarannya. Dengan kondisi seperti ini, semakin mempertebal
fakta bahwa keterampilan anak didik di Indonesia hanya sebatas sampai tataran
menjadi pendengar yang baik saja. Terjadi demikian, karena mereka terbiasa
hanya mempersiapkan telinga untuk belajar tanpa tahu bagaimana caranya mencari
sampai meramu sebuah informasi. Jadi, tidak heran apabila diberikan kepadanya
sebuah tugas yang mengharuskan mereka untuk mensintesis sebuah informasi, yang
dikumpulkan hanya seperti memindahkan sumber ke tempat yang lain tanpa dimaknai
dengan hasil pemikirannya sendiri. Fenomena ini, merupakan miniatur yang
menggambarkan secara jelas tentang bagaimana tingkat literasi anak didik (dalam
hal ini mahasiswa).
Literasi media adalah salah satu keterampilan
yang harus dimiliki seseorang dalam era globalisasi. Dikatakan demikian, karena
dalam era tersebut manusia akan semakin sering bersinggungan dengan media. Baik
itu untuk menambah wawasan atau pengetahuan maupun hanya untuk sekedar sebagai
sarana hiburan pelepas penat saja.
Ada berbagai hal yang disoroti dalam keterampilan literasi media ini, mulai dari kesadaran individu atau masyarakat terhadap dampak media sampai dengan bagaimana individu atau masyarakat memposisikan dan mengapresiasikan media dalam kehidupannya sehari-hari.
Ada berbagai hal yang disoroti dalam keterampilan literasi media ini, mulai dari kesadaran individu atau masyarakat terhadap dampak media sampai dengan bagaimana individu atau masyarakat memposisikan dan mengapresiasikan media dalam kehidupannya sehari-hari.
Kehadiran ragam media yang mulai memadati
segala bidang kehidupan manusia ditanggapi positif oleh sebagian besar masyarakat.
Walaupun begitu, merekapun sadar bahwa kehadiran media juga tidak terlepas dari
dampak negatifnya. Mereka juga beranggapan, media memiliki peran strategis
dalam proses komunikasi khususnya komunikasi massa.
Ditarik kesimpulan demikian, karena hampir
seluruh masyarakat menyatakan bahwa informasi yang terkandung dalam media massa
dapat membantu terjadinya komunikasi diantara masyarakat dan media juga dapat
membentuk suatu opini tertentu ditengah-tengah masyarakat tentang berbagai hal.
Seseorang yang memiliki keterampilan literasi media tidak akan langsung
mempercayai sebuah berita sebelum mengkrosceknya dengan sumber lain. Yang biasa
dilakukan adalah memilih media yang diakui kredibilitasnya, mengkroscek
keakuratan berita dengan sumber lain, dan akan selalu mencari kelengkapan suatu
berita yang didengarnya dari orang lain di dalam suatu media massa. Bila
dibandingkan dengan ketiga hal tersebut, hampir setengah dari masyarakat tidak
melakukan kroscek ulang terhadap berita yang telah didapatnya.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya,
selain memiliki dampak negatif media juga memiliki banyak dampak positif. Kata
yang paling mudah untuk menggambarkan dampak positif dari media adalah “gudang
informasi”. Dengan adanya media, individu atau masyarakat terbantu dalam hal
mengembangkan wawasan dan pengetahuannya. Ini dibuktikan, sebagian besar
masyarakat menyatakan merasa tidak nyaman bila tidak berhubungan dengan media
walaupun hanya satu hari. Tetapi, bukan berarti mereka hanya menghargai
pendapat/hasil karya orang lain yang ditampilkan dalam media massa saja.
Karena, walau bagaimanapun juga mereka
beranggapan bahwa beragam media dan corak yang muncul saat ini telah mampu
menambah pemahaman mereka tentang peristiwa yang sedang menggejala atau sedang
‘in’ di dunia ini[10],
secara sederhana dapat digambarkan bahwa individu yang telah memiliki
keterampilan literasi media mempunyai kemampuan untuk mengakses, menganalisa,
mengevaluasi dan sekaligus mengkomunikasikannya dalam berbagai macam format.
Lebih daripada itu, mereka juga mampu mengenali dan mengerti informasi secara
komprehensif untuk mewujudkan cara berpikir kritis, seperti tanya jawab,
menganalisa dan mengevaluasi informasi itu.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN :
Literasi Media/ Media Literacy terdiri dari
dua kata, yakni literasi dan media. Secara sederhana, literasi dapat diartikan
sebagai kemampuan membaca dan menulis atau dengan kata lain melek aksara
sedangkan media dapat diartikan sebagai suatu perantara baik dalam wujud benda,
manusia, peristiwa. Dari kedua macam definisi sederhana tadi, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa literasi media adalah kemampuan untuk mencari,
mempelajari, dan memanfaatkan berbagai sumber media dalam berbagai bentuk.
Istilah literasi media juga dapat disamakan dengan istilah ’melek media’. Empat
Faktor Utama dalam Model Media Literacy yaitu Struktur Pengetahuan, Personal
Locus, Kemampuan dan Ketrampilan, dan Proses Informasi
Adapun sebagai indikator bahwa secara individu seseorang atau suatu masyarakat sudah melek media adalah sebagai berikut :
Adapun sebagai indikator bahwa secara individu seseorang atau suatu masyarakat sudah melek media adalah sebagai berikut :
À Mampu
memilih (selektif) dan memilah (mengkategori/mengklasifikasi) media, mana yang
manfaat mana yang mudarat.
À Memahami
bahwa Radio, terutama televisi merupakan lembaga yang ‘syarat’ dengan
kepentingan politik, ekonomi, sosial budaya dll
À Memahami
bahwa Radio dan Televisi bukan menampilkan realitas dan kebenaran satu-satunya,
namun bisa merupakan ‘rekayasa’ dari pelaku-pelakunya.
À Mampu
bersikap dan berperilaku kritis pada siaran radio dan televisi.
À Menyadari
bahwa sebagai konsumen media, khalayak semua mempunyai Hak dan Kewajiban atas
isi siaran radio dan televisi.
À Menyadari
tentang dampak yang ditimbulkan media dan mengidentifikasi hal-hal yang harus
dilakukan ketika menggunakan media.
À Selektif,
pandai memilih dan memilah media yang akan digunakan;
À Hanya
mempergunakan media untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan tertentu.
À Mampu
membangun filter yang kokoh, baik bagi dirinya maupun terhadap orang-orang di
lingkungannya, sehingga secara personal tidak mudah dipengaruhi media
DAFTAR PUSTAKA
Ø Potter,W.J.(2005).
Media Literacy. Upper Sadler River,NJ: Prentice Hall.(page 23-41)
http://new-media.kompasiana.com/2010/01/22/menggagas-media-literasi-masyarakat-maju/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar