Sudah berapa yakk..

Minggu, 25 November 2012

media literacy


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Media massa adalah Media yang digunakan secara massal untuk menyebarluaskan informasi kepada khalayak. Informasi itu bisa berupa hiburan, atau pendidikan. Media massa terdiri media cetak dan media elektronik. Yang termasuk media cetak adalah koran, majalah, tabloid, newsletter, dan lain-lain. Sedangkan media elektronik adalah televisi dan film (media audiovisual), juga radio (media audio).
Fungsi Media massa setidaknya ada empat, yaitu menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), membentuk opini atau pendapat (to persuade), dan menghibur (to entertain). Media literacy muncul didorong kenyataan bahwa fungsi media massa lebih dominan dalam hal menghibur, dan mengabaikan fungsi mendidik.
Namun fakta bicara, tidak semua isi media massa bermanfaat bagi khalayak. Banyak di antaranya yang tidak mendidik dan hanya mengedepankan kepentingan pemilik/pengelola media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Media literacy bermaksud membekali khalayak dengan kemampuan untuk memilah dan menilai isi media massa secara kritis, sehingga khalayak diharapkan hanya memanfaatkan isi media sesuai dengan kepentingannya.
                                                                                                                    
B.   Rumusan Masalah

Ø  Filosofi Media Literacy ?
Ø  Apa Pengertian Media Literacy ?
Ø  Perkembangan Media Literacy ?

C.   Tujuan

Ø  Menjelaskan Filosofi Media Literacy
Ø  Menjelaskan Pengertian Media Literacy
Ø  Menjelaskan Perkembangan Media Literacy
BAB II
LANDASAN TEORI

  Media Literacy atau melek media adalah suatu istilah yang digunakan sebagai jawaban atas maraknya pandangan masyarakat tentang pengaruh dan dampak yang timbul akibat isi (content) media massa; dimana cenderung negatif dan tidak diharapkan. Sehingga perlu diberikan suatu kemampuan, pengetahuan, kesadaran dan keterampilan secara khusus kepada khalayak sebagai pembaca media cetak, penonton televisi atau pendengar radio.
Katherine Miller[1] mengungkap bahwa media massa merupakan kepuasan bagi khalayaknya, sesuai dengan kategori yang kebutuhannya masing-masing. Ada 4 (empat) kategori gratifikasi khalayak, yaitu informasi, identitas pribadi, integrasi dan interaksi sosial serta hiburan.
Pendapat di atas secara normatif, menjelaskan bahwa media terutama televisi dan radio harus berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol & perekat sosial, fungsi ekonomi dan kebudayaan (pasal 4 UU 32/2002) dengan tujuan mencerdaskan bangsa, membentuk watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa serta diarahkan untuk meningkatkan kualitas SDM.

                                                           








BAB III
PEMBAHASAN

Pada pembahasan kali ini, kita akan membahas tentang Media Literacy
A.   Filosofi Media Literacy
Istilah Media Literacy mungkin belum begitu akrab di telinga kita. Masyarakat mungkin masih terheran dan kurang paham jika ditanya apa sebenarnya Media Literacy tersebut. Para ahli pun memiliki konsep yang beragam tentang pengertian Media Literacy , Mc Cannon mengartikan Media Literacy sebagai kemampuan secara efektif dan secara efesien memahami dan menggunakan komunikasi massa[2]. Ahli lain James W Potter (2005) mendefinisikan Media Literacy sebagai satu perangkat perspektif dimana kita secara aktif memberdayakan diri kita sendiri dalam menafsirkan pesan-pesan yang kita terima dan bagaimana cara mengantisipasinya. Baiklah, sebelum kita mempelajari lebih jauh mengenai seluk beluk dari Media Literacy ada baiknya kita pahami dahulu filosofi dari Media Literacy itu sendiri.
Filosofi mengenai Media Literacy datang dari John M. Culkin (1928-1993). Ia adalah salah seorang pendidik yang menggagas penerapan pengajaran media dalam kurikulum sekolah. Ia juga salah satu yang gigih memperjuangkan gagasan bahwa Amerika harus menjadi masyarakat yang melek media. Ia pula yang sangat percaya, bahwa upaya itu harus dimulai dari sekolah. Pada tahun 1964, ia pernah menulis:
“The attainment of (media) literacy involves more that mere warnings about the effects of the mass media and more even than constant exposure to the better offerings of these media. This is an issue demanding more than good will alone; it requires understanding. And training in understanding is the task of the school!”
Aksi untuk mewujudkan gagasan mengenai melek media tidak bisa sekedar berupa peringatan untuk mewaspadai dampak media massa, atau bahkan upaya menunjukkan bagaimana kita bisa memanfaatkan media. Persoalan melek media, membutuhkan pemahaman, dan sekolah yang memiliki peran membangun pemahaman itu.
Pada dasarnya, Culkin sangat ingin mengubah cara berpikir para guru. Ia percaya, jika para guru memahami fungsi media dalam kebudayaan, mereka dapat menggunakan pemahaman itu untuk membantu generasi muda menjadi pembelajar yang lebih baik. Pada tahun 1960, ada banyak sekali informasi yang bertebaran di luar kelas, di ruang publik. Semua itu sejak media massa elektronik berkembang pesat. Tidak sedikit informasi yang salah dalam media-media itu, maka memilah informasi menjadi kemampuan yang sangat penting. Sangat penting bagi para guru untuk memberi petunjuk yang jelas, bagaimana informasi di ranah pendidikan, bisa sangat berbeda dengan informasi yang berkembang di luar sana. Generasi muda yang lebih banyak terekspose media-media baru ini, perlu diberi kemampuan untuk menghadapi terpaan informasi tersebut secara kritis dan reflektif, bukannya justru larut dalam arus mainstream media.
John Culkin sering menggunakan kalimat dari Edmund Carpenter, seorang antropolog, yang banyak mempengaruhi cara pikir dan filosofi Culkin tentang media.  Carpenter menekankan, bahwa media-media baru tersebut sebenarnya adalah bahasa komunikasi.
Dalam sebuah pidatonya, Culkin pernah mengatakan pentingnya mengembangkan kepekaan indera. Kualitas kepekaan kita sangat mempengaruhi pengetahuan kita, sementara sekolah semakin lama kurang memperhatikan kepekaan ini. Rendahnya kepekaan kita, membuat kita menjadi pembelajar yang lamban, tidak responsif. Kita bisa belajar dari alam, bagaimana alam memiliki kepekaan untuk selalu beradaptasi dengan situasi. Demikian Culkin.
Studi tentang media,  dengan terlibat secara langsung, dituntun oleh kreativitas dan pemikiran kritis, dapat meningkatkan motivasi dan kepekaan untuk senantiasa bereksperimen di sekolah. Kebiasaan seperti ini sangat penting, karena menemukan sendiri adalah proses pembelajaran yang diutamakan,   
B.   Pengertian Media Literacy
Apakah Media Literacy Itu?
“Media Literacy is a set of perspectives that we actively use to expose ourselves to the media to interpret the meaning of the messages we encounter. We build our perspectives from knowledge structures. To build our knowledge structures, we need tools and raw material. These tools are our skills. The raw material is information from the media and from the real world. Active use means that we are aware of the messages and are consciously interacting with them. “[3].
“Melek media adalah satu set perspektif yang aktif kita gunakan untuk membuka diri kepada media untuk menafsirkan makna pesan yang kita hadapi. Kita membangun perspektif kita dari struktur pengetahuan. Untuk membangun struktur pengetahuan kita, kita perlu alat dan bahan baku. Alat-alat adalah keterampilan kita. bahan baku adalah informasi dari media dan dari dunia nyata. aktif menggunakan berarti bahwa kita sadar akan pesan dan berinteraksi dengan mereka secara sadar.”
Istilah literasi media diciptakan di mid-2004 untuk menggabungkan literasi lainnya dengan visual[4]. Ofcom mengatakan literasi adalah keterampilan untuk mengakses, menganalisa, mengevaluasi dan sekaligus mengkomunikasikannya dalam berbagai macam format. Lebih daripada itu adalah mampu mengenali dan mengerti informasi secara komprehensif untuk mewujudkan cara berpikir kritis, seperti tanya jawab, menganalisa dan mengevaluasi informasi itu.
General Director UNESCO, Koiichiro Matsuura juga menjelaskan bahwa literasi lebih dari sekadar membaca dan menulis. Melainkan juga mencakup bagaimana kita berkomunikasi dalam masyarakat. Karena literasi berarti juga praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa dan budaya.
Media Literacy di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Melek Media. James Potter dalam bukunya yang berjudul “Media Literacy” [5]. mengatakan bahwa media Literacy adalah sebuah perspekif yang digunakan secara aktif ketika, individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media. Jane Tallim menyatakan bahwa media literacy adalah kemampuan untuk menganalisis pesan media yang menerpanya, baik yang bersifat informatif maupun yang menghibur.
Allan Rubin menawarkan tiga definisi mengenai media literacy.
a.    National Leadership Conference on Media Literacy[6] yaitu kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan.
b.    ahli media, Paul Messaris, yaitu pengetahuan tentang bagaimana fungsi media dalam masyarakat.
c.    peneliti komunikasi massa, Justin Lewis dan Shut Jally, yaitu pemahaman akan batasan-batasan budaya, ekonomi, politik dan teknologi terhadap kreasi, produksi dan transmisi pesan.
Rubin juga menambahkan bahwa definisi-definisi tersebut menekankan pada pengetahuan spesifik, kesadaran dan rasionalitas, yaitu proses kognitif terhadap informasi.
Fokus utamanya adalah evaluasi kritis terhadap pesan. Media literasi merupakan sebuah pemahaman akan sumber-sumber dan teknologi komunikasi, kode-kode yang digunakan, pesan-pesan yang dihasilkan serta seleksi, interpretasi dan dampak dari pesan-pesan tersebut. Terdapat dua pandangan mengenai media literacy yaitu dari Art Silverblatt dan James Potter[7]. Silverblatt menyatakan bahwa seseorang dikatakan memiliki keterampilan literasi media apabila dirinya memuat faktor-faktor sebagai berikut :
1)    Sebuah kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat
2)    Sebuah pemahaman akan proses komunikasi massa
3)    Pengembangan strategi-strategi yang digunakan untuk menganalisis dan membahas pesan-pesan media
4)    Sebuah kesadaran akan isi media sebagai ‘teks’ yang memberikan wawasan dan pengetahuan ke dalam budaya kontemporer manusia dan diri manusia sendiri
5)    Peningkatan kesenangan, pemahaman dan apresiasi terhadap isi media.
Di sisi lain, Potter[8] memberikan pendekatan yang agak berbeda dalam menjelaskan ide-ide mendasar dari media literacy, yaitu:
1)    Sebuah rangkaian kesatuan, yang bukan merupakan kondisi kategorikal (Media Literacy is a continuum not a category
2)    Media literacy perlu dikembangkan dengan melihat tingkat kedewasaan seseorang
3)    Media literacy bersifat multidimensi, yaitu domain kognitif yang mengacu pada proses mental dan proses berpikir, domain emosi yaitu dimensi perasaan, domain estetis yang mengacu pada kemampuan untuk menikmati, memahami dan mengapresiasi isi media dari sudut pandang artistik, dan domain moral yang mengacu pada kemampuan untuk menangkap nilai-nilai yang mendasari sebuah pesan
4)    Tujuan dari media literacy adalah untuk memberi kita kontrol yang lebih untuk menginterpretasi pesan. Tujuan dari melek media adalah untuk memberdayakan individu-individu dalam mengontrol media pemrograman. Istilah pemrograman dalam pengertian ini, tidak bermaksud program televisi atau media pesan. Seorang individu oleh dirinya sendiri tidak akan punya banyak pengaruh mengubah bagaimana massa kerajinan media pesan mereka. Seorang individu akan pernah bisa menjalankan banyak kendali atas apa yang akan ditawarkan kepada publik. Namun, seseorang bisa belajar untuk mengerahkan banyak kontrol atas cara pikiran seseorang mendapat diprogram. Dengan demikian, tujuan media keaksaraan adalah untuk menunjukkan orang-orang bagaimana untuk mengalihkan kontrol dari media sendiri. Inilah yang saya maksud ketika saya mengatakan bahwa tujuan melek media untuk membantu orang mengendalikan program media.
1. Media Literasi juga bertujuan untuk:
·         Membatasi PILIHAN
Media telah memprogram Anda berpikir bahwa Anda memiliki pilihan ketika pada kenyataannya tingkat pilihan sangat terbatas.
·         Memperkuat PENGALAMAN
Kita tetap akan kembali ke jenis pesan yang sama, percaya bahwa Kita akan memiliki pengalaman yang memuaskan sekali lagi seperti yang ada di masa lalu. Seiring berjalannya waktu, kebiasaan menjadi kuat, dan itu menjadi jauh lebih sulit untuk mencoba sesuatu yang baru.





2. The Cognitive Model of Media Literacy      








Pentagon: Flow of Information-Processing Tasks





Pentagon: Information-     Processing Tools


Pentagon: Decisions           Motivated


Pentagon: Knowledge          Structures

 









ü  Pribadi lokus adalah istilah yang merujuk pada yang mengatur pengolahan informasi tugas. Ini juga bentuk dan makna makna pencocokan konstruksi.
Lokus pribadi terdiri dari tujuan dan pengendali. Tujuan membentuk tugas pemrosesan informasi dengan menentukan apa yang akan disaring dalam dan apa yang akan diabaikan. Semakin Anda menyadari tujuan Anda, semakin Anda dapat langsung proses pencarian informasi. Dan semakin kuat pengendalian informasi Anda, semakin banyak Anda akan memperluas usaha untuk mencapai tujuan Anda. Namun, lokus lemah (Anda tidak menyadari tujuan tertentu dan energi pengendalian Anda rendah), Anda akan gagal untuk kontrol media: yaitu, Anda memperbolehkan media untuk menjelajahi diri anda dan kontrol atas informasi pengolahan.
ü  Setelah lokus pribadi memberikan dorongan panci dan energi, alat-alat yang diperlukan untuk melaksanakan rencana. Alat-alat tersebut adalah kompetensi dan keterampilan. Kompetensi adalah orang-orang yang telah memperoleh alat-alat untuk membantu mereka berinteraksi dengan media dan untuk mengakses informasi dalam pesan. Kompetensi yang dipelajari pada awal kehidupan, yang diterapkan secara otomatis. Kompetensi relatif dikotomis: yaitu, baik orang mampu melakukan sesuatu atau mereka tidak mampu. Sebagai contoh, baik orang tahu bagaimana mengenali kata dan maknanya sesuai dengan makna hafal atau mereka tidak. Memiliki kompetensi tidak membuat satu media yang melek huruf, tetapi tidak memiliki kompetensi ini mencegah salah satu dari media menjadi melek karena kekurangan media ini mencegah seseorang mengakses jenis informasi tertentu. Sebagai contoh, orang-orang yang tidak memiliki kompetensi dasar membaca tidak dapat mengakses bahan cetakan. Ini akan sangat membatasi apa yang mereka dapat dibangun ke structutes pengetahuan mereka.
ü  Information Processing
o   Menyaring pesan
a.    Tugas        : untuk membuat keputusan mengenai pesan mana yang menyaring (mengabaikan) dan yang untuk menyaring dalam (memperhatikan)
b.    Tujuan       : untuk menghadiri hanya pesan-pesan yang memiliki utilitas tertinggi dan menghindari semua orang lain
c.    Fokus        : pesan dalam lingkungan                        
o   Arti pencocokan
a.    Tugas        : untuk menggunakan kompetensi dasar untuk mengenali simbol-simbol dan menemukan definisi untuk masing-masing.
b.    Tujuan       : untuk efisien mengakses makna belajar sebelumnya.
c.    Fokus        : simbol dalam pesan 
o   Arti konstruksi
a.    Tugas        : untuk menggunakan keterampilan untuk bergerak melampaui makna yang serasi dan membangun makna bagi diri sendiri untuk mendapatkan lebih banyak dari pesan.
b.    Tujuan       : untuk menafsirkan pesan dari lebih dari satu perspektif sebagai sarana untuk mengidentifikasi berbagai pilihan makna, kemudian memilih satu atau sintesis di beberapa.
c.    Fokus        : satu struktur pengetahuan sendiri


3. The Seven Skills of Media Literacy
1)    Analyze/Menganalisa. Kompetensi berikutnya adalah kemampuan menganalisa struktur pesan, yang dikemas dalam media, mendayagunakan konsep-konsep dasar ilmu pengetahuan untuk memahami konteks dalam pesan pada media tertentu. Misalnya, mampu mendayagunakan informasi di media massa untuk membandingkan pernyataan-pernyataan pejabat publik, dengan dasar teori sesuai ranah keilmuannya. Kompetensi lainnya bisa diperiksa dengan kata kerja seperti, membedakan, mengenali kesalahan, menginterpretasi, dsb.
2)    Evaluate/Menilai. Setelah mampu menganalisa, maka kompetensi berikutnya yang diperlukan adalah membuat penilaian (evaluasi). Seseorang yang mampu menilai, artinya ia mampu menghubungkan informasi yang ada di media massa itu dengan kondisi dirinya, dan membuat penilaian mengenai keakuratan, dan kualitas relevansi informasi itu dengan dirinya; apakah informasi itu sangat penting, biasa, atau basi. Tentu saja kemampuan dalam menilai sebuah informasi itu dikemas dengan baik atau tidak, juga adalah bagian dari kompetensinya. Di sini, terjadi membandingkan norma dan nilai sosial terhadap isi yang dihadapi dari media.
3)    Grouping/pengelompokan – menentukan setiap unsur yang sama dalam beberapa cara: menentukan setiap unsur yang berbeda dalam beberapa cara.
4)    Induction/Induksi – menyimpulkan suatu pola di set kecil elemen, maka pola generalisasi untuk semua elemen dalam himpunan tersebut .
5)    Deduction/deduksi – menggunakan prinsip-prinsip umum untuk menjelaskan khusus
6)    Synthesis/sintesis – merakit unsur-unsur ke dalam struktur baru
7)    Abstracting/ abstrak – menciptakan singkat, jelas, dan gambaran tepat menangkap esensi dari pesan dalam sejumlah kecil kata-kata dari pada pesan itu sendiri.
C. Perkembangan Media Literacy
Media Literacy pertama kali dikembangkan sebagai alat dalam melindungi orang-orang dari paparan media. Negara yang pertama kali mendengungkan konsep ini adalah Inggris pada tahun 1930 an. Pada tahun 1980 di Inggris dan Australia Media Literacy sudah menjadi mata pelajaran tersendiri. Sementara itu di Eropa pendidikan Media Literacy diperkenalkan pada kurikulum dasar di negara Finlandia pada tahun 1970 dan pendidikan menengah atas tahun 1977. Di negara Swedia Media literacy berkembang sejak tahun 1980, dan di Denmark sejak tahun 1970.
Apa saja yang ingin dicapai lewat pendidikan Media Literacy ini? Pada umumnya pendidikan Media Literacy khususnya televisi, yang dilakukan di negara maju menekankan pada peran orang tua agar bersikap kritis dalam menonton. Artinya kita tidak dibenarkan menerima apa saja yang ditawarkan, tanpa memahami dan menganalisa dengan baik informasi yang diterima. Proses memilah informasi mana yang baik dan mana yang buruk adalah hal yang mutlak harus dilakukan. Contohnya : orang tua harus memilah film mana yang layak tonton dan mana yang tidak. Kebanyakan film berisikan tayangan sampah, yang tidak bermanfaat. Setelah dirinya mampu memilah, kebiasaan ini ditularkan kepada anaknya. Mereka melakukan pemantauan terhadap kebiasaan menonton anak-anaknya. Orang tua melakukan pendampingan, memilihkan acara yang bermutu, menjelaskan apa yang mereka tonton dan melakukan penjadwalan, kapan anaknya boleh menonton dan kapan tidak. Pada tahap selanjutnya orang tua membuat organisasi yang bersedia melakukan pelatihan kepada kelompok masyarakat yang membutuhkan, seperti: kelompok orang tua, para murid di sekolah, dan sebagainya.
Bagaimana dengan Indonesia? Sejauh ini pendidikan Media Literacy belum terorganisisr dengan baik. Belum diakomodir lewat kurikulum sekolah atau dalam kegiatan pokok di satu instansi. Baru sebatas kegiatan seminar, diskusi, ceramah, yang sifatnya belum berkesinambungan. Kegiatan pendidikan Media Literacy paling banyak dilakukan di Jakarta. Tokoh seperti Ade Armando, Nina Armando, B. Guntarto, adalah orang-orang yang penulis ketahui amat peduli terhadap Media Literacy khususnya media televisi sejak tahun 1997an. Mereka mendirikan lembaga yang bertindak sebagai pemantau siaran televisi (Watch Dog), dan melakukan aksi-aksi cukup semarak, seperti: Hari Tanpa TV di setiap tanggal 23 Juli bertepatan dengan Hari Anak Indonesia.
Kendala yang melingkari terciptanya masyakat literat ini tidak lain adalah sebagai berikut[9] :
1.    budaya minat baca bangsa Indonesia masih tergolong rendah. Terbukti, kebanyakan kita merasa lebih berani merogoh saku lebih tebal untuk membeli kebutuhan lain seperti makanan, pakaian, perhiasan, dan bahkan alat-alat rumah tangga, ketimbang membeli buku. Tingkat ekonomi yang rendah sering menjadi alasan lemahnya daya beli buku masyarakat. Karenanya, kita menjadi tidak akrab dan merasa asing dengan buku dan memiliki minat membaca yang rendah.
2.    karena adanya dampak negatif perkembangan teknologi bagi masyarakat. Masyarakat kita yang awalnya bertradisi lisan atau oral society secara drastis bergerak ke budaya elektronik seperti TV dan radio, sebelum memasuki budaya tulis secara ajek. Kita telah langsung melompat dari tradisi mendongeng ke tradisi menonton sebelum terbiasa dengan tradisi membaca.
3.    Ditambah lagi, tipe pendidikan di Indonesia masih cenderung menganut interaksi satu arah dalam proses pembelajarannya. Dengan kondisi seperti ini, semakin mempertebal fakta bahwa keterampilan anak didik di Indonesia hanya sebatas sampai tataran menjadi pendengar yang baik saja. Terjadi demikian, karena mereka terbiasa hanya mempersiapkan telinga untuk belajar tanpa tahu bagaimana caranya mencari sampai meramu sebuah informasi. Jadi, tidak heran apabila diberikan kepadanya sebuah tugas yang mengharuskan mereka untuk mensintesis sebuah informasi, yang dikumpulkan hanya seperti memindahkan sumber ke tempat yang lain tanpa dimaknai dengan hasil pemikirannya sendiri. Fenomena ini, merupakan miniatur yang menggambarkan secara jelas tentang bagaimana tingkat literasi anak didik (dalam hal ini mahasiswa).
Literasi media adalah salah satu keterampilan yang harus dimiliki seseorang dalam era globalisasi. Dikatakan demikian, karena dalam era tersebut manusia akan semakin sering bersinggungan dengan media. Baik itu untuk menambah wawasan atau pengetahuan maupun hanya untuk sekedar sebagai sarana hiburan pelepas penat saja.
Ada berbagai hal yang disoroti dalam keterampilan literasi media ini, mulai dari kesadaran individu atau masyarakat terhadap dampak media sampai dengan bagaimana individu atau masyarakat memposisikan dan mengapresiasikan media dalam kehidupannya sehari-hari.
Kehadiran ragam media yang mulai memadati segala bidang kehidupan manusia ditanggapi positif oleh sebagian besar masyarakat. Walaupun begitu, merekapun sadar bahwa kehadiran media juga tidak terlepas dari dampak negatifnya. Mereka juga beranggapan, media memiliki peran strategis dalam proses komunikasi khususnya komunikasi massa.
Ditarik kesimpulan demikian, karena hampir seluruh masyarakat menyatakan bahwa informasi yang terkandung dalam media massa dapat membantu terjadinya komunikasi diantara masyarakat dan media juga dapat membentuk suatu opini tertentu ditengah-tengah masyarakat tentang berbagai hal. Seseorang yang memiliki keterampilan literasi media tidak akan langsung mempercayai sebuah berita sebelum mengkrosceknya dengan sumber lain. Yang biasa dilakukan adalah memilih media yang diakui kredibilitasnya, mengkroscek keakuratan berita dengan sumber lain, dan akan selalu mencari kelengkapan suatu berita yang didengarnya dari orang lain di dalam suatu media massa. Bila dibandingkan dengan ketiga hal tersebut, hampir setengah dari masyarakat tidak melakukan kroscek ulang terhadap berita yang telah didapatnya.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, selain memiliki dampak negatif media juga memiliki banyak dampak positif. Kata yang paling mudah untuk menggambarkan dampak positif dari media adalah “gudang informasi”. Dengan adanya media, individu atau masyarakat terbantu dalam hal mengembangkan wawasan dan pengetahuannya. Ini dibuktikan, sebagian besar masyarakat menyatakan merasa tidak nyaman bila tidak berhubungan dengan media walaupun hanya satu hari. Tetapi, bukan berarti mereka hanya menghargai pendapat/hasil karya orang lain yang ditampilkan dalam media massa saja.
 Karena, walau bagaimanapun juga mereka beranggapan bahwa beragam media dan corak yang muncul saat ini telah mampu menambah pemahaman mereka tentang peristiwa yang sedang menggejala atau sedang ‘in’ di dunia ini[10], secara sederhana dapat digambarkan bahwa individu yang telah memiliki keterampilan literasi media mempunyai kemampuan untuk mengakses, menganalisa, mengevaluasi dan sekaligus mengkomunikasikannya dalam berbagai macam format. Lebih daripada itu, mereka juga mampu mengenali dan mengerti informasi secara komprehensif untuk mewujudkan cara berpikir kritis, seperti tanya jawab, menganalisa dan mengevaluasi informasi itu.







BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN           :
Literasi Media/ Media Literacy terdiri dari dua kata, yakni literasi dan media. Secara sederhana, literasi dapat diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis atau dengan kata lain melek aksara sedangkan media dapat diartikan sebagai suatu perantara baik dalam wujud benda, manusia, peristiwa. Dari kedua macam definisi sederhana tadi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa literasi media adalah kemampuan untuk mencari, mempelajari, dan memanfaatkan berbagai sumber media dalam berbagai bentuk. Istilah literasi media juga dapat disamakan dengan istilah ’melek media’. Empat Faktor Utama dalam Model Media Literacy yaitu Struktur Pengetahuan, Personal Locus, Kemampuan dan Ketrampilan, dan Proses Informasi
Adapun sebagai indikator bahwa secara individu seseorang atau suatu masyarakat sudah melek media adalah sebagai berikut :
À      Mampu memilih (selektif) dan memilah (mengkategori/mengklasifikasi) media, mana yang manfaat mana yang mudarat.
À      Memahami bahwa Radio, terutama televisi merupakan lembaga yang ‘syarat’ dengan kepentingan politik, ekonomi, sosial budaya dll
À      Memahami bahwa Radio dan Televisi bukan menampilkan realitas dan kebenaran satu-satunya, namun bisa merupakan ‘rekayasa’ dari pelaku-pelakunya.
À      Mampu bersikap dan berperilaku kritis pada siaran radio dan televisi.
À      Menyadari bahwa sebagai konsumen media, khalayak semua mempunyai Hak dan Kewajiban atas isi siaran radio dan televisi.
À      Menyadari tentang dampak yang ditimbulkan media dan mengidentifikasi hal-hal yang harus dilakukan ketika menggunakan media.
À      Selektif, pandai memilih dan memilah media yang akan digunakan;
À      Hanya mempergunakan media untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan tertentu.
À      Mampu membangun filter yang kokoh, baik bagi dirinya maupun terhadap orang-orang di lingkungannya, sehingga secara personal tidak mudah dipengaruhi media

DAFTAR PUSTAKA

Ø  Potter,W.J.(2005). Media Literacy. Upper Sadler River,NJ: Prentice Hall.(page 23-41)
http://new-media.kompasiana.com/2010/01/22/menggagas-media-literasi-masyarakat-maju/


[1] (2005 : 258)
[2] (Strasburger & Wilson, 2002)
[3] Potter,W.J.(2005)
[4] (Ofcom, 2004)
[5] (Potter, dalam Kidia)
[6] (Baran and Davis, 2003)
[7] (Potter dalam Kidia)
[8] (Baran and Davis, 2003 dalam Kidia)
[9] (Bukhori, 2005)
[10] Pembahasan di atas bila dilandasi pendapat Ofcom

Tidak ada komentar:

Posting Komentar