BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kondisi
Pendidikan Nasional di
Masa Reformasi
Zaman ‘Reformasi’ Selama Orde Baru berlangsung,
rezim yang berkuasa sangat leluasa melakukan hal-hal yang mereka inginkan tanpa
ada yang berani melakukan pertentangan dan perlawanan, rezim ini juga memiliki
motor politik yang sangat kuat yaitu partai Golkar yang merupakan partai
terbesar saat itu. Hampir tidak ada kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan
sesuatu, termasuk kebebasan untuk berbicara dan menyaampaikan pendapatnya (ibid.:
143).
Begitu Orde Baru jatuh pada tahun 1998 masyarakat merasa bebas bagaikan burung yang baru lepas dari sangkarnya yang telah membelenggunya selama bertahun-tahun. Masa Reformasi ini pada awalnya lebih banyak bersifat mengejar kebebasan tanpa program yang jelas.
Begitu Orde Baru jatuh pada tahun 1998 masyarakat merasa bebas bagaikan burung yang baru lepas dari sangkarnya yang telah membelenggunya selama bertahun-tahun. Masa Reformasi ini pada awalnya lebih banyak bersifat mengejar kebebasan tanpa program yang jelas.
Sementara itu, ekonomi Indonesia semakin terpuruk,
pengangguran yang bertambah banyak, demikian juga
halnya dengan penduduk miskin. Korupsi semakin hebat dan semakin sulit
diberantas. Namun demikian, dalam bidang pendidikan ada perubahan-perubahan
dengan munculnya Undang-Undang Pendidikan yang baru dan mengubah system pendidikan
sentralisasi menjadi desentralisasi, di samping itu kesejahteraan tenaga
kependidikan perlahan-lahan meningkat.
Hal ini memicu peningkatan kualitas profesional
mereka. Instrumen-instrumen untuk mewujudkan desentralisasi pendidikan juga
diupayakan, misalnya MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), Life Skills (Lima
Ketrampilan Hidup), dan TQM (Total Quality Management).
Indonesia
sejak tahun 1998 merupakan era transisi dengan tumbuhnya proses demokrasi.
Demokrasi juga telah memasuki dunia pendidikan nasional antara lain dengan
lahirnya Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam bidang pendidikan bukan lagi merupakan tanggung jawab pemerintah pusat
tetapi diserahkan kepada tanggung jawab pemerintah daerah sebagaimana diatur
dalam Undang – Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, hanya
beberapa fungsi saja yang tetap berada di tangan pemerintah pusat. Perubahan
dari sistem yang sentralisasi ke desentralisasi akan membawa
konsekuensi-konsekuensi yang jauh di dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
Selain
perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi yang membawa banyak perubahan
juga bagaimana untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam menghadapi
persaingan bebas abad ke-21. Kebutuhan ini ditampung dalam Undang-Undang No. 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta pentingnya tenaga guru dan dosen
sebagai ujung tombak dari reformasi pendidikan nasional.
Sistem
Pendidikan Nasional Era Reformasi yang diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 diuraikan dalam indikator-indikator akan keberhasilan atau kegagalannya,
maka lahirlah Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan yang kemudian dijelaskan dalam Permendiknas RI.
Di
dalam masyarakat Indonesia dewasa ini muncul banyak kritikan baik dari praktisi
pendidikan maupun dari kalangan pengamat pendidikan mengenai pendidikan
nasional yang tidak mempunyai arah yang jelas. Dunia pendidikan sekarang ini
bukan merupakan pemersatu bangsa tetapi merupakan suatu ajang pertikaian dan
persemaian manusia-manusiaa yang berdiri sendiri dalam arti yang sempit,
mementingkan diri dan kelompok.
Menurut
H.A.R. Tilaar, hal tersebut disebabkan adanya dua kekuatan besar yaitu kekuatan
politik dan kekuatan ekonomi.
a.
Kekuatan
Politik
Pendidikan
masuk dalam subordinasi dari kekuatan-kekuatan politik praktis, yang berarti
pendidikan telah dimasukkan ke dalam perebutan kekuasaan partai-partai politik,
untuk kepentingan kekuatan golongannya. Pandangan politik ditentukan oleh dua
paradigma yaitu paradigma teknologi dan paradigma ekonomi. Paradigma teknologi
mengedepankan pembangunan fisik yang menjamin kenyaman hidup manusia. Paradigma
ekonomi lebih mengedepankan pencapaian kehidupan modern dalam arti pemenuhan
kehidupan materil dan mengesampingkan
kebutuhan non materiil duniawi. Contoh
pengembangan dana 20 %.
b.
Kekuatan
Ekonomi
Manusia
Indonesia tidak terlepas dari modernisasi seperti teknologi informasi dan
teknologi komunikasi. Neoliberalisme pendidikan membawa dampak positif dan
negatif. Positifnya yaitu pendidikan menunjang perbaikan hidup dan nilai
negatifnya yaitu mempersempit tujuan pendidikan atas pertimbangan efisiensi,
produksi, dan menghasilkan manusia-manusia yang dapat bersaing, yaitu pada
profit orientit yang mencari keuntungan sebesar-besarnya terhadap investasi
yang dilaksanakan dalam bidang pendidikan.
Demi
mencapai efisiensi dan kualitas pendidikan maka disusunlah beberapa upaya
standardisasi. Untuk usaha tersebut maka muncul konsep-konsep seperti : Ujian
Nasional. Dalam menyusun RENSTRA Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005 –
2009 lebih menekankan pada manajemen dan kepemeimpinan bukan masalah pokok
yaitu pengembangan anak Indonesia. Anak Indonesia dijadikan obyek, anak
Indonesia bukan merupakan suatu proses humanisasi atau pemanusiaan. Anak Indonesia
dijadikan alat untuk menggulirkan suatu tujuan ekonomis yaitu pertumbuhan,
keterampilan, penguasaan skil yang dituntut dalam pertumbuhan ekonomi [Millist
CFBE]
B. Reformasi Pendidikan
Reformasi
merupakan istilah yang amat populer pada masa krisis ini dan menjadi kata kunci
dalam membenahi seluruh tatanan hidup berbangsa dan bernegara di tanah air
tercinta ini, termasuk reformasi di bidang pendidikan [Suyanto dan
Hisyam,2000:1].
Pada era
reformasi ini, masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua
aspek kehidupan.Tilaar (1999:3), mengatakan masyarakat Indonesia kini sedang
berada dalammasa transformasi.
Era
reformasi telah lahir dan masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam
semua aspek kehidupannya. Euforia domokrasi sedang marak dalam masyarakat
Indonesia. Di tengah euforia demokrasi ini lahirlah berbagai jenis
pendapat, pandangan, konsep, yang tidak jarang yang satu bertentangan dengan
yang lain, antara lain berbagai pandangan mengenai bentuk masyarakat dan bangsa Indonesia
yang dicita-citakan di masa depan. Upaya untuk membangun suatu masyarakat,
bukan perkerjaan yang mudah, karena sangat berkaiatan dengan persoalan budaya
dan sikap hidup masyarakat. Diperlukan berbagai terobosan dalam penyusunan
konsep, serta tindakan-tindakan, "dengan kata lain diperlukan suatu
paradigma-paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru,
demikian kata filsuf Kuhn.
Menurut
Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan
paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akanmemenuhi kegagalan"
[Tilaar, 1998:245].Berbicara masalah reformasi pendidikan, banyak substansi
yang harus direnungkan dan sedikit pula persoalan yang membutuhkan jawaban.
Sektor pendidikan memiliki peran yang strategis dan fungsional dalam upaya
membangun suatu masyarakat. Pendidikan senantiasa berusaha untuk menjawab
kebutuhan dan tantangan yang muncul di kalangan masyarakat sebagai konsekuensi
dari suatu perubahan, karena pendidikan sebagai "sarana terbaik yang didisain
untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan
ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh
secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka" (Conference
Book, London, 1978 :15-17).
Change is a
way of life. Those who look to the past or present will miss the
future ".Metafora tersebut menurut Suyanto, pantas diterjemahkan
dalam kepentingan reformasi pendidikan kita ini. Artinya,
dalam melakukan reformasi pendidikan kita harus tetap berpegang pada tantangan
masa depan yang penuh dengan persaingan global. Apabila kita
berbicara kemampuan dan kesiapan sebagai anak bangsa, tampaknya kita belum siap
benar menghadapi persaingan global pada milenium ketiga. Tenaga ahli kita belum
cukup memadai untuk siap bersaing di tingkat global. Apabila"dilihat dari
pendidikannya, angkatan kerja kita saat ini sungguh sangat memprihatinkan. Sebagian
besar angkatan kerja (53%) tidak berpendidikan, yang berpendidikan dasar
sebanyak 34%, berpindidikan menengah 11%, dan berpendidikan tinggi hanya
2%.Padahal tuntutan dari dunia kerja pada akhir pembangunan jangka panjang II
nantimengharuskan angkatan kerja kita berpendidikan" [Boediono, 1997:82].
Tilar
(1999: 22) memberikan pemikiran tentang reformasi dibidang pendidikan yaitu :
1. Pengikisan
korupsi, kolusi nepotisme dan koncoisme
2. Melaksanakan
asa profesionalisme
3. Desentralisasi
pengelolaan pendidikan dan isi kurikulum
4. Peningkatan
mutu pendidikan dasar dan penuntasan wajib belajar 9 tahun
5. Peningkatan
mutu sekolah umum dan kejuruan
6. Peningkatan
mutu dan otonomi pendidikan tinggi
7. Pengembangan
pendidikan alternatif
8. Peningkatan
mutu profesi guru
9. Pembiayaan
pendidikan yang demokratis
10. Peraturan
dan perundang-undangan
11. Pemberdayaan
mahasiswa
Dari
kesebelas agenda tersebut dirangkum dalam 3 tahap pelaksanaan yakni jangka
pendek, jangka menengah dan jangka panjang.bentuk-bentuk reformasi dibidang
pendidikan yang lainnya adalah pola Bottom
up, yang ternyata Bottom Up, harus diupayakan terealisasi, untuk
menggantikan pola Top Down yang selama ini digunakan. Pemikiran semacam ini
melahirkan pengelolaan sekolah yang berbasiskan kepada sekolah dan masyarakat (School Based Management), bahkan terus
didorong penyelenggaraan pendidikan yang berbasiskan masyarakat (community based education).
Struktur
kelembagaan yang sentralistik, sejalan dengan semangat ekonomi daerah maka
diarahkan menjadi pengelolaan desentralistik (PP No.22/1999 tentang otonomi
daerah) dibidang pendidikan hal ini membawa implikasi dengan diberdayakannya
pemerintah daerah tingkat II untuk mengelola pendidikan baik dari segi sarana,
keuangan dari SDM.hal ini dikembangakan dengan memberikan rangsangan dan
kesempatan kepada putra-putra daerah yang memiliki potensi tinggi (local
genius).
Dibidang
peraturan perundangan, yakni UUSPN No.2/1998 harus diamandemen, antara lain
mengenai Paradigma Penyelenggaraan pendidikan yang Ekslusif ke arah Inklusif,
Pola Sentralistik harus dikembangkan ke arah Desentralistik, juga yang amat
penting tentang kurikulum ketenagaan dan pembianaan, pengawasan serta
pembiayaannya.khususnya tentang anggaran pendidikan harus masuk dalam UU
Sisdiknas (Kompas 19 september 2001 hal:9)
Era
kepemimpinan presiden Habibie tidak lama digantikan dengan Abdurrahman wahid.
Era Abdurrahman wahid (Gusdur) adalah era yang penuh ketidakpastian,
berkali-kali gusdur melakukan pergantian kabinet. Di bidang pendidikan tidak
terlalu banyak prestasi yang diraih, kecuali mengganti nama Departemen
Pendidikan Kebudayaan (Depdikbud) menjadi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas)
dan adanya kenaikan gaji pokok PNS yang cukup signifikan.kekurangannya BBM dan
niali rupiah terhadap Dolar Amerika sangat rendah.
Sebenarnya sektor pendidikan menjadi tumpuan harapan dan memiliki peran
strategis dan fungsional dalam upaya membangun dan meningkatan kualitas sumber
daya manusia Indonesia. Pendidikan sebenarnya selalu didesain untuk senantiasa
berusaha menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul di kalangan masyarakat
sebagai konsekuensi dari suatu perubahan. Tetapi pada kenyataannya, kondisi
"pendidikan kita masih melahirkan mismatch yang luar biasa dengan tuntutan
dunia kerja. Kondisi seperti ini juga berarti bahwa daya saing kita secara
global amat rendah [Suyanto dan Hisyam,2000:3].
a) Ekses Produk Pendidikan Orde Baru
Apabila kita direnungkan kondisi sekarang ini, dengan munculnya kekerasan, masyarakat
bertindak menghakimi sendiri, dan berbagai macam bentuk perilaku kekerasan,
menggambarkan bangsa ini sedang sakit. Nampaknya ada sesuatu yang "salah"
dari reformasi, apakah sistem pendidikan yang "salah" karena hanya "membentuk"
manusia-manusia yang tidak "mampu", [Salahuddin, 1998:303), menjadi beban,
dan brutal, ataukah merupakan ekses dari kebijakan dan paraktik pendidikan
dimasa "rezin Orde Baru yang otoriter telah melahirkan sistem pendidikan
yang tidak mampu melakukan pemberdayaan masyarakat secara efektif. Walaupun
secara kuantitatif rezim ini memang telah mampu menunjukkan prestasi yang cukup
baik dibidang pendidikan.
Dan patut diakui kemajuan-kemajuan pendidikan secara kuantitatif bisa kita
rasakan selama Orde Baru [Suyanto dan Hisyam, 2000:5]. Namun keberhasilan
kuantitatif ini, belum terlihat pemberdayaan masyarakat secara luas, sebagai
cermin dari keberhasilan suatu sistem pendidikan, dan tidak pernah terjadi.
"Mengapa demikian? Karena Orde Baru, setelah lima tahun pertama berkuasa,
secara sistematis telah menyiapkan skenario pemerintahan yang memiliki visi dan
misi utama untuk melestarikan kekuasaan dengan berbagai cara dan metode.
Akibatnya, sistem pendidikan kemudian dijadikan sebagai salah satu
instrumen untuk menciptakan safetynet bagi pelestarian kekuasaan. Visi dan misi
pelestarian kekuasaan itu,melahirkan kebijakan pendidikan yang bersifat
straight jacket" [Suyanto dan Hisyam,2000:7]. Pendidikan produk Orde Baru
belum bisa diharapkan untuk membangun dan memberdayakan masyarakat, karena
pendidikan yang berjalan pada masa Orde Baru dan produknya dapat dirasakan
sekarang ini, sebatas pada sosialisasi nilai dengan pola hafalan, dan
kreativitas dipasung. Menurut Tilaar, bahwa "sistem pendidikan nasional
sangat erat kaitannya dengan kehidupan politik bangsa pada saat itu. Maka
selama Orde Baru telah tercipta suatu hidupan bangsa yang tidak sesuai dengan
cita-cita UUD1945.
Pemerintah Orde Baru yang represif telah menghasilkan manusia-manusia
Indonesia yang tertekan, tidak kritis, bertindak dan berpikir dalam acuan suatu
struktur kekuasaan yang hanya mengabdi kepada kepentingan sekelompok kecil
rakyat Indonesia [Tilaar, 1999:4]. Patut diakui, bahwa produk pendidikan Orde
Baru, masih berpengaruh sampai sekarang ini. Sedangkan kehidupan politik bangsa
sekarang sudah mengalami perubahan yaitu memasuki era reformasi, sehingga
paradigma yang digunakan pada era Orde Baru tidak dapat digunakan pada era
reformasi, karena pada era reformasi menuntut kembali kedaulatan rakyat yang
telah hilang. Sementara dalam usaha merubah kehidupan masyarakat, baik pada
pola pikir, pandangan, dan tindakan masih menggunakan paradigma Orde Baru. Maka,
pada era reformasi sekarang yang sedang bergulir ini, seharusnya pendidikan
nasional dikembalikan kepada fungsinya yaitu memberdayakan masyarakat dengan
mengembalikan kedaulatan rakyat untuk membangun dirinya sendiri.
"Pendidikan nasional perlu direformasi untuk mewujudkan visi baru
masyarakat Indonesia yaitu suatu masyarakat madani Indonesia" [Tilaar,
1999:4]. Hal ini, juga terjadi pada pendidikan Islam, karena pendidikan Islam
mempunyai kedudukan yang sama dalam sistem pendidikan nasional Undang-undang
No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Untuk itu, pendidikan
Islam harus diupayakan untuk direformasi, karena posisi pendidikan sebagai sub
sistem pendidikan nasional tidak terlepas dari kehidupan politik bangsa yang
sedang mengalami perubahan.
b)
Langkah untuk Reformasi Mencermati Kondisi Sekarang
Pada kondisi ini apa yang
perlu dilakukan, nampaknya hal yang urgen adalah kita harus menyusun
langkah-langkah untuk reformasi pendidikan dan harus melepaskan diri dari
paradigma Orde Baru, karena pola pikir kita, pandangan, bertindah dan berbuat
sekarang ini masih menggunakan paradigma produk pendidikan selama era Orde
Baru.
Maka "untuk menghapuskan ciri dan ekses negatif proses dan hasil
pendidikan selama Orde Baru, pemerintah sekarang perlu dengan sadar mengambil
berbagai kebijakan reformasi secara substansial, dan kebijakan tersebut perlu
memperhatikan berbagai persoalan yang sedang dan akan dihadapi oleh bangsa ini
[Suyanto dan Hisyam, 2000:8).
C.
Tokoh – tokoh pendidikan Zaman Orde Baru sampai Reformasi
Semangat bergulirnya Pemikiran dari Tokoh Pendidikan Klasik
a) Ki Hajar Dewantoro
Ki Hajar Dewantoro adalah Bapak Pendidikan Nasional
Indonesia yang banyak mengkonsep sistem pendidikan nasional pada masa awal
kemerdekaan. Visi, misi dan tujuan pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar
Dewantoro adalah bahwa pendidikan sebagai alat perjuangan untuk mengangkat
harkat, martabat dan kemajuan umat manusia secara universal. Sehingga mereka
mampu berdiri kokoh sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju dan tetap
berpijak kepada identitas dirinya sebagai bangsa yang telah memiliki peradaban
dan kebudayaan yang berbeda dengan bangsa lain.
Selanjutnya Ki Hajar Dewantoro juga menginginkan agar
pendidikan yang diberikan kepada bangsa Indonesia adalah pendidikan yang sesuai
dengan tuntutan zaman, yaitu pendidikan yang dapat membawa kemajuan bagi
peserta didik. Ungkapan ini merupakan respon dari adanya pendidikan yang
diberikan oleh pemerintah Belanda kepada rakyat kita, yaitu pendidikan yang
mengajarkan hal-hal yang sulit dipelajari tetapi tidak berfungsi untuk masa
depan.
b)
K.H. Hasyim Asy’ari
Gagasan Hasyim Asy’ari adalah bahwa untuk berjuang
mewujudkan cita-cita nasional termasuk dalam bidang pendidikan, diperlukan
wadah berupa organisasi pada tahun 1926 ia mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama,
dalam organisasi ini Hasyim Asy’ari berjuang membina dan menggerakkan
masyarakat melalui pendidikan. Beliau juga mendirikan pondok pesantren sebagai
basis pendidikan dan perjuangan melawan Belanda.
c) K.H. Ahmad Dahlan
Selain itu, Ahmad Dahlan juga berpandangan bahwa
pendidikan harus membekali siswa dengan pengetahuan dan ketrampilan yang
diperlukan untuk mencapai kehidupan dunia. Oleh karena itu, pendidikan yang
baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dimana siswa itu
hidup. Dengan pendapatnya yang demikian itu, sesungguhnya Ahmad Dahlan
mengkritik kaum tradisionalis yang menjalankan model pendidikan yang diwarisi
secara turun temurun tanpa mencoba melihat relevansinya dengan perkembangan
zaman.
Ahmad Dahlan sadar, bahwa tingkat partisipasi muslim
yang rendah dalam sektor-sektor pemerintahan itu karena kebijakan pemerintah
kolonial yang menutup peluang bagi muslim untuk masuk. Berkaitan dengan
kenyataan serupa ini, maka Ahmad Dahlan berusaha memperbaikinya dengan
memberikan pencerahan tentang pentingnya pendidikan yang sesuai perkembangan
zaman bagi kemajuan bangsa. Berkaitan dengan masalah ini Ahmad Dahlan mengutip
ayat 13 surat al-Ra’d yang artinya: Sesungguhnya Tuhan tidak akan mengubah
nasib suatu kaum, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Sejarah sistem
pendidikan di Indonesia pada masa reformasi diwarnai oleh keadaan politik dan
ekonomi pada saat itu. Pada masa tersebut telah lahirlah Undang-Undang No 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam bidang pendidikan bukan
lagi merupakan tanggung jawab pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada
tanggung jawab pemerintah daerah. Selain itu pada masa ini telah terjadi
beberapa pergantian presiden yang menyebabkan pergantian nama dari Depdikbud
menjadi Depdiknas.
Sejarah
sistem pendidikan nasional pada masa reformasi diterapkan juga hingga sekarang
yaitu dalam proses
pendidikan, guru tidak hanya menjalankan fungsi sebagai pemindah ilmu
pengetahuan (Transfer of Knowledge) dari guru ke murid (top Down), tetapi juga
berfungsi sebagai orang yang menanamkan nilai (values), membangun karakter
(Character building) serta mengembangkan potensi besar yang dimiliki murid
secara berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
ü Dra.
Sri Martini Meilanie, Mpd. Pengantar Ilmu
Pendidikan (2010). Universitas Negeri Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar