Sudah berapa yakk..

Jumat, 16 Desember 2011

Memahami Pendidikan Jarak Jauh Landasan untuk Pengembangan Diklat Jarak Jauh

Pendahuluan
Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan telah mengembangkan diklat jarak jauh sejak tahun 2009. Tentu ini merupakan sebuah inovasi yang sangat berarti. Bahkan merupakan sebuah lompatan besar dalam bidang kediklatan di Kemeterian Agama. Tahun 2011 hampir seluruh Balai Diklat Keagamaan telah melaksanakan jenis diklat tersebut dengan berbagai ragam praktek sebagai interpretasi dari kebijakan pusat yang telah ditetapkan dalam panduan.
Tentu saja praktek pelaksanaan dan pengembangan diklat jarak jauh harus dilandasi dengan pengetahuan mengenai konsep dan teori yang benar. Jangan sampai tujuan dari diklat jarak jauh tidak tercapai gara-gara para pengambil keputusan dan para pelaksana tidak memahami benar konsepnya. Oleh karena itu harus ada upaya untuk memahaminya melalui diskusi dan kaji referensi.
Konsep pendidikan jarak jauh merupakan landasan pengembangan Diklat Jarak jauh. Dengan memahami konsep pendidikan jarak jauh maka dapat memperoleh gambaran apa sebenarnya diklat jarak jauh. Berikut ini adalah kajian mengenai definisi pendidikan jarak jauh. Dalam kajian ini didiskusikan definisi dari berbagai sumber dan para ahli yang menjadi empu di bidangnya.

Definisi Pendidikan jarak jauh
Konsep pendidikan terbuka-jarak jauh berkembang seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunkasi. Menjelang abad 21 banyak istilah yang mengambarkan perkembangan konsep tersebut. George Otte, Philip A.  Pecorino dan Anthony G. Picciano[1] diantaranya, menyebtukan beberapa istilah seperti Distance education, distance teaching, distance learning, open learning, distributed learning, asynchronous learning, telelearning, dan flexible learning. Istilah lain yang juga digunakan seperti yang dikemukakan oleh Wedmayer[2] yaitu non-traditional learning, independent study, out-of-school learning dan external study. Bahkan terakhir muncul istilah ubiquitous learning.
Istilah-istilah tersebut mengambarkan konsep-konsep yang khas namun memiliki kesamaan yaitu menggambarkan sebuah proses pendidikan dimana guru dan peserta belajar berada pada tempat yang terpisah namun disatukan dengan teknologi.
Distance education (pendidikan jarak jauh), distance teaching (pembelajaran jarak jauh), distance learning (belajar jarak jauh) dan open learning (sistem belajar terbuka) sering kali digunakan secara bergantian. Diantara keempat istilah ini yang memiliki definisi paling umum adalah open leanring. Dalam enssiklopedia Webopedia[3] open learning didefinisikan sebagai pendekatan belajar yang memberikan kesempatan kepada siswa keleluasaan dan pilihan menentukan apa yang ingin dipelajari, kapan mau belajar, dan bagaimana caranya.Open learning tidak terikat dengan persyaratan dan target maupun kualifikasi akademis tertentu.[4] Definisi tersebut menunjukkan bahwa dalam open learning hubungan antar sumber belajar dengan pesera belajar bisa synchrounous (tatap muka) maupun asynchronous (non tatap muka/terpaut jarak dan waktu). Meskipun begitu pembelajaran synchronous pada open learning merupakan pembelajaran yang tidak terjadwal seperti pada program formal klasikal.
Untuk maksud yang sama dengan open education di Australia digunakan istilah flexible learning, yaitu sebuah pilosofi dan sistem yang memberi keleluasaan peserta belajar untuk menentukan dimana, kapan dan bagaimana belajar akan dilakukan[5]. Dalam konsep ini dikenal juga istilah personalize learning, yaitu pedagogi, curikulum dan lingkungan belajar untuk mengakomodasi aspirasi atau kebutuhan belajar individual yang melibatkan penggunaan teknologi secara intensif[6]. Personalize learning mengacu kepada prinsip bahwa siswa memiliki latar belakang, karakter psikologis dan perilaku belajar yang berbeda Oleh karena itu harus diberi perlakuan berbeda.
Distance education, distance learning dan distance teaching dalam beberapa ensiklopedia dan buku memiliki definisi yang sama yaitu sebuah metode, pendekatan dan teknologi yang bertujuan unutuk mengantarkan pelajaran kepada peserta belajar yang berada di tempat yang jauh.
Para ahli di bidang distance education seperti B¨orje Holmberg, Charles A. Wedemeyer, dan Michael G. Moore mengkaji distance education lebih banyak dari sisi proses sedangkan Desmond Keegan, Otto Peters, Randy Garrison, and John Anderson mengkajinya dari sisi pengorganisasiannya[7]. Namun demikian mereka mendefinisikan distance education tidak jauh berbeda.
Holmberg[8] misalnya menjelaskan bahwa distance education dicirkan dengan adanya keterpisahan antara guru/instruktur dengan peserta belajar dan adanya penggunaan satu atau lebih media sebagai alat untuk menyatukannya. Media yang digunakan bisa tulisan tangan, cetakan, rekaman audio, TV, video, telepon, teleconference, web cam, video conference, e-mail dan jejaring social berbasis internet dan intranet lain. Definisi Donald Keegan relatif sama dengan Holmberg namun lebih detil. Pada evolusi definisi yang dikeluarkan tahun 1986 Keegan menjelaskan 4 elemen yang menjadi karakter dari distance education berikut[9]:
1)    Adanya keterpisahan antara guru dengan peserta belajar pada sebagian besar proses pembelajaran.
2)    Peran lembaga pendidikan termasuk didalamnya perangkat evaluasi.
3)    Peran media untuk menyatukan guru dan peserta belajar sert.
4)    Perangkat untuk menyelenggarakan two-way communication antara guru, tutor, atau agen pendidikan dengan perserta belajar.
Menurut Verduin dan Clark[10] element pertama definisi tersebut menjelaskan bahwa  sebuah pendidikan dapat disebut distance education apabila lebih dari setengah proses pembelajarannya dilakukan secara asynchronous. Elemen kedua memuat gambaran pentingnya organisasi pendidikan, evaluasi dan komponen kelembagaan lainnya. Elemen ketiga menggambarkan peran media untuk menyatukan hubungan pendidikan antara guru dengan peserta belajar; dan Elemen keempat menggambarkan   pentingnya komunikasi dua arah antara guru, tutor dan agen pendidikan lain dengan murid.
Hillary Perraton[11] dan Verduin and Clark[12] memiliki kesamaan pendangan dengan Keegan bahwa sebuah proses pendidikan dapat dikatanan distance education apabila mayoritas proses pembelajaran diselenggarakan secara asynchronous.
Selain para ahli, banyak organisasi yang yang terkait dengan bidang pendidikan terbuka mengeluarkan definsi tentang distance education. AECT (Association of Educational Communication Technologi) misalnya sebagai rumah dari para ahli dan praktisi teknologi pendidikan pada situsnya[13] menampilkan definsi distance education Holmberg, dan Garrison & Shale. Definisi tersebut menggunakan istilah non-contiguous communication (komunikasi non-sentuh) untuk menggambarkan proses komunikasi edikatif non tatap muka antara guru/instruktur dengan peserta belajar. United States Distance Learning Association (USDLA)[14] mendefinisikan distance learning sebagai penguasaan pengetahuan dan ketermapilan dengan menggunakan media sebagai pengantar informasi dan pembelajaran. Media yang digunakan mencakup semua teknologi informasi dan berbagai bentuk media belajar jarak jauh. Definisi ini menegaskan konsep mediated learning (belajar yang dimediasi) dengan teknologi informasi dan komunikasi.
Organisasi pendidikan Commonwealth (Commonwealth of Learning) menyarikan definisi dari berbagai referensi dan menyatakan bahwa istilah distance learning memiliki cirri-ciri berikut:
1)    Separation of teacher and learner (Keterpisahan antara guru dan peserta belajar).
2)    Institution accreditation (belajar harus disertifikasi oleh lembaga tertentu.
3)    Use of mixed-media course (menggunakan media pembelajaran beragam)
4)    Two-way communication (komunikasi dua arah)
5)    Possibility Of face-to-face meetings for tutorial (memungkinkan terjadinya tatap muka untuk tutorial)
6)    Use of industrial proses (menerapkan proses industrialisai).
Dalam definisi ini dicantumkan karakter industrialisasi pada distance education. Hal ini memang menjadi salah satu issu terkait dengan distance education yang sering diangkat oleh para ahli terutama oleh para theorist seperti Amerika seperti Keegan, Otto Peters, Randy Garrison dan John Anderson[15]. Distance education memang diselenggarakan dengan tujuan pragmatis untuk efesiensi dan efektifitas proses dan hasil pendidikan. Salah satunya untuk menjangkau peserta belajar yang tidak memungkinkan untuk belajar dengan cara klasikal dalam jumlah yang banyak dengan biaya pendidikan minimal.
Berdasarkan definisi-definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa distance education (pendidikan jarak jauh) adalah sebuah bentuk pendidikan formla non klasikal dimana guru dan peserta belajar berada dalam tempat berbeda dan sebagian besar penyelenggarakan komunikasi edukatif dilakukan secara non tatap muka menggunakan teknologi informasi dalam berbagai bentuk dengan tujuan untuk menjangkau peserta belajar yang tidak memungkinkan untuk mengikuti pendidikan klasikal.

Distance education berbasis IT
Perkembangan IT telah mengubah definisi distance education ke arah yang lebih spesifik dengan konsep distributed learning. Istilah istilah yang bermunculan berkaitan dengan itu diantaranya, asynchronous learning, tele-learning, mobile learning (M-Learning), dan ubiquotus learning (U-Learning).
Distributed learning adalah sebuah model instruksional yang melibatkan berbagai macam teknologi video atau audio conferencing, penyiaran via satelit dan web base[16], untuk membantu peserta belajar untuk belajar dengan mudah kapan saja dan dimana saja. Bahkan bisa berbentuk kelas virtual murni[17]. Ciri dari distributed learning adalah tersebarnya sumber belajar sehingga dapat diakses oleh peserta belajar dimana saja dan kapan saja.
Asynchronous learning sebenarnya memiliki pengertian yang lebih umum yaitu pembelajaran tanpa tatap muka dengan menggunakan beragam media, namun lebih sering dimaknai proses pebelajaran menggunkan sumber online[18] untuk memfasilitasi terjadinya berbagi informasi tanpa terikat waktu dan tempat[19].
Mobile learning (M-Learning) adalah sebuah proses belajar menggunakan teknologi genggam (mobile device) sebagai media utama.[20] Ini adalah sejenis belajar dimana setiap peserta belajar bisa belajar dimana saja dan kapan saja karena mengunakan mobile technology atau portable device.[21] Model belajar terbuka ini lebih spesifik dalam hal teknologi yang digunakan yaitu computer yang bisa dibawa kemana-mana dan dapat mengakses sumber belajar kapan saja seperti laptop, tablet, HP dan sejenisnya.
Ubiquitous learning adalah sebuah istilah baru dalam pendidikan. Istilah pertama yang muncul adalah Ubiquitous computing yang menggambarkan sebuah perangkat elektronik kecil yang dapat digunakan untuk computing dan komunikasi seperti smart mobile phone (telepon genggam cerdas). Istilah Ubiquitous Learning yang sering disebut u-learning menurut Saadiah Yahya dkk[22]. belum jelas benar, namun secara garis besar menggambarkan sebuah lingkungan belajar yang memungkinkan orang untuk belajar melalui penggunaan computer cerdas dimana saja dan kapan saja, dan dapat diakses dalam berbagai conteks dan situasi.[23] M-Learning dan U-Learning bersifat distributed learning.
Apabila konsep-konsep tersebut digambarkan dalam bentuk skema maka akan terlihat sebagai berikut:
 
Definisi Diklat Jarak Jauh di Kementerian Agama
Diklat jarak jauh merupakan sebuah pendidikan yang berbasis distance education (pendidikan jarak jauh). Berdasarkan definisi-definisi pendidikan jarak jauh di atas maka diklat jarak jauh di Kementerian Agama dapat didefinisikan sebaga bentuk pendidikan dan latihan formal non klasikal dimana fasilitator dan peserta diklat berada dalam tempat berbeda dan sebagian besar penyelenggarakan komunikasi edukatif dilakukan secara non tatap muka menggunakan teknologi informasi dalam berbagai bentuk dengan tujuan untuk meningkatkan kesempatan kepada pegawai Kementerian Agama untuk memperoleh pendidikan dan latihan.
Diklat jatrak jauh di Kementerian Agama sudah bersifat distributed learning karena informasi yang berkaitan dengan materi diklat sudah dapat diakses menggunakan mobile device seperti tablet, laptop dansmart mobile phone sehingga dapat diakses kapan saja dan dimana saja. Fasilitas LMS yang disediakan sudah cukup memadai sebagai fasilitas bagi peserta diklat  mobile learning. Fasilitas sudah dapat diakses di sleuruh Nusantara sehingga memungkinkan bagi para pegawai Kementerian Agama untuk mengikuti program diklat.

Penutup
Program diklat akan dapat dilaksanakan dengan baik dan menghasilkan keluaran yang sesuai dengan kebutuhan apabila diklat dikembangkan berdasarkan konsep yang jelas. Diklat jarak jauh di Kementerian Agama adalah sebuah strategi inovatif untuk meningkatkan jangkauan kediklatan. Bercermin kepada program-program pendidikan jarak jauh yang sudah dilakukan di negara lain seperti British Open University yang setiap tahunnya 250.000 mahasiswa dalam dan luar negeri mendaftar untuk mengikuti program. Negeri ini juga memiliki Universitas Terbuka yang per Juni 2011 mahasiswa yang aktif sekitar 576.265 orang. Ini success story yang menggambarkan bahwa pendidikan jarak jauh dapat menjadi pemeran utama dalam pendidikan. Bahkan dengan teknolgi informasi yang semakin mobile pendidikan jarak jauh semakin memungkinkan. Artinya diklat jarak jauh merupakan program inovatif yang akan menjadi andalan di masa yang akan datang.
Yang masih menjadi keterbatasan adalah kemampuan bendwidh, aplikasi dan strategi penyelenggaraan yang belum memungkinkan untuk memfasilitasi peserta dalam jumlah yang cukup banyak. Setiap Balai Diklat sekarang ini hanya baru bisa memfasilitasi peserta sebanyak 20 sampai 30 orang setiap angkatannya. Ini menyebabkan biaya penyelenggaraan untuk setiap peserta menjadi lebih mahal dari pada diklat regular. Hasil evaluasi diklat jarak jauh di BDK Jakarta tahun 2010 didapatkan data bahwa dalam diklat regular setiap peserta rata-rata menghabiskan biaya sebesar Rp. 3.100.000,- sedangkan dalam diklat jarak jauh Rp. 4.300.000.  padahal salah satu ciri dari pendidikan jarak jauh adalah industrialisasi pendidikan dimana biaya penyelenggaraan yang sama harus bisa melipatgandakan hasilnya. Seharusnya biaya yang sama dengan diklat regular dapat memfasilitasi jumlah peserta diklat yang berlipat melalui diklat jarak jauh dengan mutu output yang relatif sama.
Yang harus dilakukan adalah melakukan kajian untuk mengembangkan konsep, kebijakan dan praktek diklat jarak jauh agar kedepan menjadi program yang diharapkan. Kajian harus dilakukan secara akdemik dipadukan dengan kajian terhadap best practices dari berbagai penyelenggara pendidikan ajrak jauh.


DAFTAR PUSTAKA DEFINISI

AECT. The Handbook of Research for Educational Communication Technology. The Association for Educational Communications and Technology, 2001. http://www.aect.org/edtech/ed1/13/13-03.html, 12 Juli 2011.
Australian National Training Authority. Definition of Key Term Used in E-Learning, Australian Flexible learning Framework Quick Guide Series. Australian National Training Authority, 2003.
Close Definition, http://technologysource.org/extra/20/definition/2/, 15 Juli 2010.
Cornel University Library, http://www.library.cornell.edu/DL/tutorial/tut_2.htm, 15 Juli 2011
Holmberg, Borje. The Evolution, Principles and Practices of Distance Education. Bibliotheks- und Informationssystem der Universität Oldenburg,  2005.
Moore, Michael Graham dan Anderson, Wiliam G. Handbook of Distance Education (ed.). London: Lawrence Erbaum Associates Publisher, 2003.
Otte, George;  Pecorino, Phipip A. dan Picciano, Anthony G. Distance Learning and CUNY: A Broad Overview,http://www.qcc.cuny.edu/socialsciences/ppecorino/psc_dlart.html, Agustus 2001.
Perraton, Hillary, Distance Education for Teacher Training (Ed. New York: RoutLege, 1993.
Traxler, John. Defining Mobile Learning. IADIS International Conference Mobile Learning,  2005).
Verduin, John R. Jr. and Clark, Thomas A. Distance Education The Foundation of Effectife Practice. San Francisco: Jossey-Bass Inc, 1991.
Wikipedia Ensiklopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Asynchronous_learning, 15 Juli 2011.
Wikipedia Ensiklopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/MLearning, 15 Juli 2011
Wikipedia Ensiklopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Personalized_learning, 16 Juli 2011
Wikipeida Ensiklopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Flexible_learning, 15 Jiuli 2011
Yahya, Saadiah; Ahmad, Erny Arniza and Jalil, Kamarularifin Abd. The definition and characteristics of ubiquitous learning: A discussion., International Journal of Education and Development using Information and Communication Technology, (IJEDICT), 2010, Vol. 6, Issue 1, pp. x-x.
Zucker, Susan G. Forensic Science Education for Civil Criminal Juctice Communities. The Board of Regent of University of Wisconsin System, 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar